PENERAPAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH TERNAK FESES DAN URIN DI  SRENGAT MINI FARM

Srengat Mini Farm (SMF) adalah sebuah kebun penunjang kegiatan pengolahan limbah feses dan urin yang berlokasi di Ds Srengat, Kec. Srengat, Kabupaten Blitar. Lokasi SMF memiliki luasan tanah 700 m2, yang digunakan untuk kebun rumput dan bangunan kandang kambing/sapi. Masyarakat di sekitar Ds Srengat merupakan masyarakat petani yang rata- rata memiliki kambing/sapi sebagai sumber penghasilan sampingan mereka. Usaha peternakan sapi potong baik penggemukan maupun pemeliharaan induk akan memperoleh limbah berupa kotoran feses dan urin. Baik feses maupun urin menyimpan potensi sebagai bahan pupuk organik padat dan cair. Namun disisi lain, keduanya berpotensi sebagai bahan sumber pencemar lingkungan. Dampak merugikan limbah feses dan urin menimbulkan polutan asal gas metana (CH4) dan sebagai media perkembangbiakan mikroorganisme penyebab penyakit. Oleh karena itu diperlukan suatu aplikasi teknologi untuk meningkatkan nilai ekonomis limbah feses dan urin dari usaha peternakan sapi/kambing sekaligus mengurangi dampak merugikan terhadap lingkungan.

Limbah Feses dan Urin dari Ternak Sapi dan Kambing 

Dari hasil pengamatan tim pelaksana pengabdian, pada Srengat Mini Farm yang terletak di Ds Srengat, Kec. Srengat, Kab. Blitar, sudah dipelihara kambing dan sapi sebanyak 15 ekor (terdiri dari 11 ekor kambing dan 4 ekor sapi). Untuk 15 ekor ternak sapi dan kambing tersebut menghasilkan feses sekitar 225-300 kg/hari dan urin sekitar 150-225 liter/hari. Selama ini limbah feses dan urin tersebut masih belum dimanfaatkan maksimal, sehingga kondisinya justru akan mengakibatkan polusi bau bagi lingkungan sekitarnya. Feses yang tidak diolah, hanya dibiarkan saja secara alami menjadi pupuk organik sedangkan urin hanya dialirkan dari kandang masuk dalam bak tanpa perlakuan. Keadaan tersebut mengakibatkan rendahnya produktivitas pupuk padat dan cair, sehingga tidak bisa memberikan manfaat tambahan. Dari hasil pupuk organik secara alamiah maka akan menghasilkan pupuk organik padat yang lembab, tidak remah, belum matang, mudah berjamur, masa simpan pendek dan lama proses pembuatan. Untuk pemanfaatan urin yang hanya ditampung di bak maka didapatkan kelemahan seperti urin tidak tahan lama dan bercampur dengan material sisa pakan. Jika hal ini tidak dilakukan perbaikan dalam proses pemanfaatan limbah feses dan urin dengan tepat maka disamping nilai ekonomis tidak termanfaatkan maksimal serta kandang dan lingkungannya tidak ramah lingkungan, peternak dan ternak tidak nyaman berada dalam kandang.

Gambar 1. Limbah Feses dan Urin dari Ternak Sapi dan Kambing 

Pupuk kompos merupakan dekomposisi bahan – bahan organik atau proses perombakan senyawa yang komplek menjadi senyawa yang sederhana dengan bantuan mikroorganisme. Bahan pokok pupuk organik ini adalah feses dan urin sapi/kambing dan bahan seperti serbuk gergaji atau sekam, jerami padi dll, yang didekomposisi dengan bahan pemacu mikroorganisme dalam tanah (misalnya. stardect atau bahan sejenis) ditambah dengan bahan-bahan untuk memperkaya kandungan kompos, selain ditambah serbuk gergaji, atau sekam, jerami padi dapat juga ditambahkan abu dan kalsit/kapur. Didalam feses sapi ini memiliki kandungan nitrogen dan potassium, di samping itu kotoran sapi merupakan kotoran ternak yang baik untuk kompos. Suplai bahan baku feses dan urin utamanya dari kandang sapi SMF sendiri, namun kalau ada kekurangan maka akan dicari tambahan bahan baku dari peternak sapi di sekitar Ds Srengat yang populasinya cukup banyak. Sedangkan bahan campuran seperti serbuk gergaji, sekam padi, abu dan kalsit cukup mudah diperoleh dari daerah sekitar lokasi SMF berada. Secara lebih terperinci bahan-bahan pembuatan pupuk organik padat adalah sebagai berikut : a. Kotoran sapi minimal 65% dan akan lebih baik jika dicampur dengan urine; b. Sekam padi, sisa jerami dalam kandang atau limbah organik lainnya ; c. Kapur pertanian (dolomite); d. Abu pembakaran kayu/sekam, serbuk gergaji; e. Stardec.

Proses pembuatan pupuk organic padat ini sudah dilakukan dengan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

  1. Sehari sebelum komposing dimulai (H-1), dicampurkan bahan utama (kotoran sapi, sekam padi/sisa jerami, abu dapur dan kapur pertanian) secara merata atau ditumpuk mengikuti lapisan: Kotoran sapi ditempatkan paling bawah dengan ketinggian maksimum 30 cm. Lapisan berikutnya adalah kapur pertanian yaitu untuk menaikan pH karena mikrobia akan tumbuh baik pada pH yang tinggi (tidak asam). Setelah itu diletakkan sekam padi/sisa jerami dan paling atas letakkan abu dapur atau hasil pembakaran kayu/sekam.
  2. Tumpukan seperti pada Nomor 1 diatas, diulangi sampai ketinggian sekitar 1,5 meter.
  3. Pada hari pertama, tumpukan bahan disisir, lalu ditaburi dengan stardec sebanyak 0,25% atau 2,5 kg untuk campuran sebanyak 1 ton.
  4. Tumpukan bahan minimal dengan ketinggian 80 cm.
  5. Tumpukan dibiarkan selama satu minggu (H±7) tanpa ditutup, namun terjaga agar terhindar dari panas dan hujan. Artinya pada hari ketujuh campuran bahan harus dibalik, agar diperoleh suplai oksigen dalam proses komposing. Pembalikan ini dilakukan kembali pada hari ke-14, 21 dan 28.
  6. Pada hari ke-7 suhu bahan mulai meningkat sampai dengan hari ke-21. Peningkatan bisa mencapai 60-70°C dan akan turun kembali pada hari ke-28 atau tergantung bahan yang digunakan. Perlu dipahami, bahwa meningkat dan menurunnya suhu menandakan proses komposing berjalan sempurna. yang ditandai dengan adanya perubahan warna bahan menjadi hitam kecoklatan.
  7. Proses pengemasan.

Gambar 2. Proses Komposing 

Gambar 3. Proses Pengemasan Produk Pupuk Padat dari Lembah Feses Ternak

Bahan-bahan pembuatan pupuk cair dan pestisida cair (urine sapi), setiap 10 liter urine sapi adalah sebagai berikut: a. Urine Sapi 10 Liter; b. Tepung Lengkuas 100 gram; c. Tepung Temu Ireng 100 gram; d. Tepung Jahe 100 gram; e. Tepung Kencur; 100 gram; f. Tepung Kunir 100 gram; g. Daun Sambiloto/Wimbo 100 gram; h. Tetes 200 ml; i. Fermentor 10 ml (2 tutup). Bahan baku tambahan yang digunakan adalah kecambah kacang hijau yang digunakan untuk menghasilkan hormon pertumbuhan.

Pengolahan pupuk cair yaitu:

  1. Memasukkan empon-empon kedalam botol bekas air mineral yang telah berisi Urine Sapi/kambing murni.
  2. Mencampurkan Tetes dan Fermentor kedalam adonan Urine dan empon-empon tersebut sambil diaduk-aduk/digojok sampai homogen/rata (lebih kurang setengah jam).
  3. Botol ditutup dengan rapat, difermentasi selama 14 hari. Selama proses fermentasi, diaduk setiap hari 2 kali (pagi dan sore hari). Setelah 14 hari fermentasi selesai, Urine Sapi/kambing dapat digunakan sebagai Pupuk atau Pestisida.
  4. Pengemasan

Gambar 4. Produk Pupuk Cair dari Limbah Urin Ternak

Untuk bersaing dengan pupuk organic yang beredar di pasaran (kompetitor), maka SMF membuat inovasi produk pupuk padat dengan komposisi bahan baku feses lebih dari 70% dibanding bahan baku tambahan seperti abu dapur, sekam dan serbuk gergaji. Kompetitor sebagian besar menggunakan bahan baku feses dibawah 60%, sehingga mutu produk SMF akan lebih baik. Sedangkan pupuk cair, SMF membagi menjadi 2 line produk yaitu sebagai anti hama dan sebagai pertumbuhan. Kompetitor belum memiliki produk sesuai spesifikasi ini, dimana SMF menambahkan bahan anti hama dan hormon auxin didalam pupuk cair tersebut.

Tim Srengat Mini Farm (SMF), merupakan gabungan antara tim dosen pengabdi dan mitra. Dalam hal ini tim dosen berfungsi sebagai fasilitator, dan mitra sebagai tenaga operator dalam pelaksanaan seluruh kegiatan yang ada. Dalam memaksimalkan fungsi manajemen SDM, maka ada beberapa langkah yang efektif yang perlu dilakukan oleh tim. Langkah-langkah itu difokuskan untuk menemukan orang yang tepat untuk pekerjaan yang tepat dan penyediaan untuk keberlangsungan produktivitas dan pengembangan. SDM yang terlibat dalam pengelolaan SMF terdiri dari dosen dan mitra. Dosen berfungsi sebagai motivator seluruh kegiatan, sedangkan mitra sebagai pelaksana kegiatan. Kegiatan ini ditujukan kepada mitra untuk memunculkan ide-ide kreatif yang dapat diwujudkan dalam bentuk produk inovatif baik secara mandiri maupun kelompok masyarakat.

Oleh karena itu dengan adanya pengabdian masyarakat ini diharapkan bisa menjadi inkubator yang lengkap bagi mitra, tidak hanya berupa teori namun juga secara langsung dipraktekkan di lapangan. Wirausaha bukan materi yang baru bagi mitra, namun mereka nampaknya kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman bersentuhan dengan teknologi tepat guna. Oleh karena itu, dalam beberapa pertemuan awal mereka masih berorientasi pada upaya ‘menemukan‘ produk baru. Setelah diberikan contoh-contoh penemuan teknologi yang masih perlu dikembangkan sehingga dapat memasuki tahap komersialisasi, mitra mulai memahami posisi mereka sebagai pengusaha yang memiliki modal kemampuan untuk mengembangkan penemuan teknologi agar dapat dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat.

Kegiatan pengabdian masyarakat yang berkolaborasi dengan mitra Srengat Mini Farm ini berperan sebagai pembawa inovasi berupa penerapan teknologi budidaya, pengolahan pakan, teknologi pengolahan limbah kotoran ternak, dan analisis manajemen keuangan serta sistem pemasaran sehingga akan meningkatkan efisiensi produksi, serta mewujudkan sistem pertanian dan peternakan terpadu (Integrated Crop Livestock System) yang berlangsung ramah lingkungan (enviroment friendly) dan tanpa limbah (zero waste).

(Afidatul Muadifah1, Resti Yuliana Rahmawati2)